Selasa, 04 Maret 2008

Tanya Kenapa?

Matahari makin meninggi seiring hilangnya kepulan kopi dari cangkir lusuh hadiah berlangganan kopi sebulan di warung sebelah, empat tahun silam. Beberapa mahasiswa nyentrik sudah berlalu lalang dengan sibuknya. Menenteng ransel gedhe yang kelihatan melompong, beberapa map berisi lembaran-lembaran rapi kertas folio dan tak sedikit yang terlihat sambil menempelkan HP dikuping mereka entah telepon atau cumin mendengarkan Nada Sambung Pribadi, ga taulah tapi yang jelas mereka terlihat sibuk. Beberapa pegawai sipil berkemeja safari lengkap dengan sepatu necis dan dandanan klimis mulai sibuk berangkat kerja, ya meskipun mungkin agak telat masuk kantor tapi yang penting absen dan setelah itu ga da kerjaan pokonya ngantor. Asal gaji ga telat aja.

One love-nya uncle bob Marley masih mengalun dengan anggunnya menyayat hati dari rumah kost sebelah yang bercat merah, kuning, hijau. Dan aku masih menantap dunia yang udah begitu jarang ditemui cinta antar sesama, begitu jarang lagi manusia yang memanusiakan manusia. Fiuwh…, semua sibuk dengan dirinya masing-masing, semua sibuk dengan ego dan kebutuhannya sendiri-sendiri.

Lirih masih terdengar om bob bernyanyi, ehm…, tapi biarlah asal masih bersuara dan bernyanyi menemani aku, mengusir sepi meskipun begitu banyak manusia hilir mudik tak henti-hentinya didepanku.

Hari beranjak makin siang, makin panas, dan makin banyak saja mahasiswa yang sliweran didepanku. Beberapa terlihat memakai jas almamater, beberapa lagi membawa kertas-kertas yang digulung dengan tidak rapi, bunyi sepeda motor yang begitu keras seakan menampar-nampar kendang telingaku, lagu om bob pun semakin lirih terdengar.

Kusruput seteguk kopi yang sudah dingin dari cangkir kopi lusuh yang panas karena matahari. Riuh terdengar dari kejauhan yang rasanya semakin mendekat, terlihat motor begitu banyaknya dengan suara meraung seakan ingin memperlihatkan pada semua bahwa “ne lo aku punya motor!”, beberapa warga disekitarku berhamburan keluar rumah seakan-akan ingin melihat tontonan parade pawai pembangunan yang biasanya hanya ada setiap 17 agustusan. Sebuah spanduk panjang bertuliskan aneh menghujat pemerintahan yang berkuasa dan seakan-akan membela rakyat kecil, satu oaring dengan ikat kepala mirip perban rumah sakit bertuliskan HIDUP RAKYAT, berkoar-koar dengan megaphone yang kadang lancer kadang tersendat dan kadang bersuara ga jelas, yang lain pun bernyanyi-nyanyi lagu revolusi dengan mengepalkan tangan kirinya meskipun kadang diselingi tawa, beberapa lagi membawa kertas-kertas protes bertuliskan hujatan dan makian yang diatas namakan rakyat kecil. Sebuah parade yang menarik.

Suara knalpot motor yang meraung begitu kerasnya disertai teriakan dan hukatan menambah rebut pawai dadakan. Dan dengan acuhnya bahkan tak ada perasaan bersalah untuk sekedar berjalan sambil meraung-raungkan suara knalpotnya tanpa sopan didepanku atau setidaknya memandang orang lain yang sama-sama bayar pajak yang sedang melewati jalan dari arah berlawanan pun terpaksa terpinggirkan di trotoar dan berhenti untuk memberi jalan pawai atas nama rakyat kecil, atas nama mereka.

Debu berterbangan tanpa sopan dan suara knalpot serta koar-koar pemimpin pawai masih terdengar, aku terbatuk dan mengaduh sesak. Ehm.., untunglah kopiku sudah kututupi dengan topi jeramiku. Selamat.

“Somewhere Over The Rainbow” nya Israel Kamakawiwo’ole mengalun lirih dari rumah sebelah, meneduhkan hati. Seseorang dengan rambut gimbal aneh tak teratur dan berpakaian lusuh yang sudah termakan usia atau mungkin tidak pernah dicuci atau malah karena sering dicuci dengan sablon Osama bi Laden, bercelana jeans yang tidak kalah lusuh dan dekilnya dengan kaos yang dipakai beberapa bagian sudah terkoyak atau mungkin emang sengaja dikoyak keluar dari rumah sebelah sambil membawa mangkuk dan gelas berisi kopi berjalan ke arahku. Suara sandal jepit yang tidak pernah bisa dibilang bagus dan bermerk semakin dekat.

“Maaf ya pak, masaknya kesiangan. Soalnya semalem anak-anak harus begadang ampe pagi, semalem warungnya rame pak. ” kata Sofyan Amirruddin, manusia gimbal aneh yang kadang sering terlihat teller sama teman-teman gimbal serumahnya meskipun juga tidak jarang terlihat mengumpulkan sumbangan dijalan-jalan ketika ada bencana dibeberapa tempat.

“alhamdulillah. Iya ga pa-pa, kok ga ikut demo lho, Mir?” tanyaku sambil menerima mangkuk yang berisi nasi dengan beberapa tempe dan tahu serta ayam yang digoreng. Amir meletakkan gelasnya disampingku.

“Ga pak., beda aliran. Kita kan alirannya aliran sesat.” Kata amir lagi sambil tertawa, aku juga tertawa.

“Ya udah pak, ntar kalo bapak lapar ato sekedar buat istirahat masuk aja ga usah sungkan.” Kata amir sambil beranjak dari sampingku.

“Iya, mir terima kasih. Terima kasih juga buat yang lainnya.” Kataku dibalas senyuman dari amir, tulus.

Aku beringsut kebelakang, dengan tangan yang makin keriput oleh usia berlindung dari sengat matahari dengan atap Kardus yang menempel dipagar sisa rumahku, rumahku sudah hancur oleh amuk warga karena dikira tukang santet beberapa tahun lalu padahal aku cumin bisa sedikit meramal, tidak ada sanak keluarga yang mau aku tumpangi tinggal meskipun kakiku pernah terputus oleh mortir jepang saat perang kemerdekaan, tapi tak ada yang penghargaan apapun untuk sebuah perjuangan demi kemerdekaan bangsa, meskipun aku juga tak berharap banyak. Sampai empat tahun yang lalu, rumah kardusku bertetangga dengan beberapa mahasiswa aneh berambut gimbal, suka teller dan kemudian menbuka warung kopi yang buka dari jam 9 malam ampe pagi . Setelah beberapa minggu tinggal bertetangga aku tau mereka ga se-aneh tampilannya meski suka teller tapi mereka ga pernah malakin orang. Bahkan mereka sering ngajak aku tidur di rumah kost mereka, meskipun jarang-jarang aku tidur di rumah mereka hanya saat hujan deras dan rumah kardusku ga sanggup menampung air hujan. Kami sering cerita masing-masing diri kami, mereka terkejut ketika tahu aku mantan pejuang dan lebih terkejutnya lagi aku adalah mereka kuliah dengan biaya sendiri, dari warung kopi mereka.

Dan untuk sekian kalinya, aku makan dari makanan mereka..,

Aku menarik napas dalam-dalam sambil meraih kotak bekas biscuit tua yang tadi ada dihadapanku, beberapa koin limaratusan pemberian beberapa dermawan dan setumpuk debu dari pawai atas nama orang kecil…, hari masih panjang, semoga tidak mendung dan turun hujan biar rejekiku hari ini bertambah dan aku tidak dipaksa amir dan kawan-kawannya untuk tidur dirumahnya karena hujan…

Tidak ada komentar: