Selasa, 04 Maret 2008

JANGAN KEJAR AKU, MATAHARI.

Malam belum begitu larut dengan beberapa bintang yang masih sedikit menggelayut diantara mendung musim hujan yang tidak bisa diramalkan lagi, separuh bulan yang masih enggan untuk sedikit saja bercahaya pada bumi berselimut awan hitam, mendung. Beberapa lampu mercury 100 watt diperempatan-perempatan bersaing dengan temaram lampu sepeda motor dan mobil yang berebut menghembuskan nafas polusi untuk bumi, kerlip bintang semakin temaram. Anginpun seakan tidak mau tinggal diam, berhembus sepoi-sepoi tetapi begitu menusuk tulang, beberapa lembar daun terjatuh dengan ringkihnya, tapi tak patah dan terinjak roda mobil yang melaju tanpa sopan, berantakan.

Musim penghujan yang biasanya begitu ramai dengan celoteh kodok, sekarang pun jadi sepi bukan karena si kodok telah musnah oleh ular sawah, akan tetapi tak ada tempat lagi untuk kodok mengorek dimusim hujan berganti bangunan-bangunan kokoh yang akan roboh oleh sebuah getaran kecil rutukan tanah, atau setetes hujan yang sedikit berlimpah. Ringkih, rapuh, luluh. Wujud alotnya birokrasi Negara ini.

Di sudut kota, beberapa ratus meter dari kediaman pejabat yang ga pernah kelihatan ngantor, tapi selalu pake mobil dinas berpakain klimis tapi ga pernah ngasih sedekah kalo ada yang ngemis, disebuah warung sebelah wak Kaji yang memiliki satu pondok yang sedang dalam proses dikembangkan dan sudah beberapa kali naik haji, umrah dan sebagainya tapi sadar atao enggak ternyata disekitar wak Kaji masih banyak orang yang belum berkecupan disekitarnya.

“Warung Kopi Lincak”, seperti itulah yang terpampang di depan warung kopi Kang Prawito, sebenarnya se ga bener juga kalo dibilang warung soalnya warung Kang Prawito atau biasa anak-anak panggil Kang Wit hanya terdiri dari sebuah gerobak mirip dengan gerobak yang biasanya dipake jualan bakso, beberapa lincak yang mengitari gerobak Kang Wit serta sekitar sepuluh tikar tanggung yang disiapkan Kang Wit jika pengunjung warungnya udah ga mencukupi ditampung di lincak sekitar gerobaknya, tinggal gelar tikar dibeberapa emper toko yang sudah tutup dan jadilah sebuah warung atau anggapan kami ini merupakan restoran mewah yang ga ada duanya, bisa berbincang bebas dengan kawan, tertawa pun tidak perlu takut menjdi perhatian orang, bahkan kami pun sudah mengganggap warung ini tempat bertemunya kawan baru maupun lama, hemm.., sebegitu mewahnya fasilitas warung ini meskipun menu yang disediakan harga satuannya tidak ada yang menembus angka dua ribu perak, beratap langit dan beralaskan tikar yang beberapa bagiannya udah bolong dimakan usia dan sulutan rokok.

Satu cangkir kopi dengan hidangan beberapa pisang goreng dan tempe goreng rasanya sudah teramat cukup untuk melewati perjalanan malam ini yang sedikit mendung. Satu pak rokok sudah tinggal separuh, satu persatu pelanggan setia Kang Wit mulai berdatangan seiring waktu yang mulai merambat pelan tapi pasti menuju pagi. Suasana yang sepi pun mulai hidup dengan guyonan-guyonan yang tak jarang juga diselingi ejekan, tapi tidak pernah ada dendam diantara kami, yang ada cumin senang, dan senang.

Yah, apa lagi yang harus dilakukan untuk membunuh malam yang begitu pekat dengan mendung yang kapan saja siap menurunkan airnya dengan deras, sedang atau pun cumin gerimis karena semua bisa menjadi kemungkinan buruk, atau bahkan terburuk. Pak pejabat yang ga pernah ngantor sering bilang di pidato-pidatonya waktu pertemuan PKK maupun arisan rutin ibu-ibu bahkan di senam bersama bapak-ibu pejabat dibawahnya bahwa kita harus menjaga alam, menjaga bumi dan sebagainya tapi pak pejabat yang tidak pernah ngantor tidak pernah memberi contoh, hanya memerintah, hanya omong doang.

Atau Wak Kaji yang sering dalam ceramah-ceramahnya selalu memberikan nasehat untuk terus bekerja, berusaha, dan berbuat baik dan sebagainya dan sebagainya tapi Wak Kaji juga tidak pernah memberi tauladan, yang ada wak kaji cuman sibuk dengan urusan politik, pilkadal, sampe pilihan RT atau begitu sibuknya Wak Kaji saling tuding sesat menyesatkan tanpa harus berusaha mawas diri, instropeksi tentang apa dan mengapa semua bisa tersesat? Mengutip dari novel laris yang saat ini sedang booming, Pak Kaji sekarang lebih sibuk dan lebih gengsian, kiai di Indonesia yang menyuruh umat mengeluarkan shadaqah jariyah, bahkan menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana dengan berbagai macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia sendiri cuma ongkang-ongkang kaki di masjid atau di pesantren. Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk turun ke kali mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau pesantrennya sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para santri. Tugasnya adalah mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab kuning di atas segalanya. Dengan membacakan kitab kuning ia merasa sudah memberikan segalanya kepada umat. Bahkan merasa telah menyumbangkan yang terbaik. Dengan khutbah Jum’at di masjid ia merasa telah paling berjasa. Meskipun khutbahnya dari dulu ya cuman itu-itu saja.

Tapi ya sudah lah, yang penting masih bisa nikmati hidup meskipun hanya dengan secangkir kopi dan beberapa pisang goreng, rasa lelah setelah mencangkul seharian di ladang Kang Sukro petani gabah yang hanya punya sawah satu kotak tapi setengahnya di sedekahkan pada beberapa warga miskin yang tidak punya pekerjaan dan keahlian lain selain tani seperti Aku, dengan sistem gantian dengan 4 tetangga lainnya lumayan lah yang sebelumnya tidak punya penghasilan jadi sedikit punya pengharapan untuk makan.

“Kang udah waktunya tutup” kata Kang Wit halus sambil meletakkan lincak diatas dan disamping gerobaknya.

“Oh iya kang, ini” kataku sambil mengeluarkan dua lembar seribuan dan satu koin lima ratusan.

“Terima kasih Kang Wit, besuk lha yo sik bukak to?”kataku lagi.

“Iya no kang, tenang ae selama saya masih kuat ndorong gerobak apa se yang nggak buat sampean-sampean?” kata Kang Wit lagi diikuti tawa kami bersama, hemmh…, malam ini pun ditutup dengan tawa. Senangnya.

Beberapa pedagang sayur sudah mulai melewati kami menuju pasar, menyongsong esok yang baru, yang lebih baik. Yup, semogabesok matahari masih bersinar, dan aku pun harus istirahat untuk bersiap mencangkul lagi, esok. Matahari, jangan kejar kami. Biarkan hidup ini lebih berarti dengan mu yang slalu sinari kami… semoga tidak mendung dan matahari masih terlihat.

Tidak ada komentar: